Tanggapi Malaysia Tak Wajibkan Hukuman Mati, KBRI: Kita Bantu Pihak Penjara Siapkan Kebutuhan Data
Dubes RI untuk Malaysia Hermono (tengah) berbicara dalam FGD Penghapusan Mandatory Death Penalty Malaysia yang diikuti secara daring, Jakarta, Kamis (21/9/2023). (ANTARA/Katriana

Bagikan:

JAKARTA - Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur menyiapkan sejumlah langkah dan upaya untuk merespons penghapusan sifat wajib atau mandatori hukuman mati di Malaysia.

"Langkah pertama dalam proses ini kita membantu pihak penjara untuk kebutuhan data-datanya," kata Dubes RI untuk Malaysia Hermono dalam FGD Penghapusan Mandatory Death Penalty Malaysia yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis 21 September, disitat Antara.

Pemerintah Malaysia, kata Hermono, telah mengamendemen undang-undang hukuman mati dan hukuman seumur hidup pada 12 September 2023.

Amendemen itu tidak menghapus hukuman mati, melainkan hanya menghapus sifat mandatorinya.

Amendeman itu membuat terpidana dapat mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk memperoleh keringanan hukuman. PK perlu disampaikan kepada penjara, untuk kemudian didaftarkan pada Majelis Agung di Malaysia.

Dalam proses pengajuan PK, penjara kerap kali membutuhkan data-data yang diperlukan untuk dapat mendaftarkan PK.

Oleh karena itu, KBRI akan berkoordinasi dengan penjara di Malaysia sehingga membantu mereka melengkapi data-data yang dibutuhkan WNI yang dijatuhi hukuman mati dan penjara seumur hidup di Malaysia.

Hermono mengungkapkan, sepanjang Juni-Juli 2023, KBRI telah mengidentifikasi dan mengunjungi 35 penjara di seluruh Malaysia sehingga didapat data ada 78 WNI yang akan mengajukan PK.

Langkah berikutnya yang diambil KBRI adalah menyiapkan pengacara untuk mendampingi WNI terpidana yang mengajukan PK.

"Jika pihak tertuduh atau terdakwa dalam kasus hukuman mati ini tidak memiliki pengacara, maka negara akan menyediakannya," kata Hermono.

Namun, menurut Hermono, tak semua WNI tervonis hukuman mati atau penjara seumur hidup bersedia didampingi pengacara yang disediakan pemerintah.

"Jadi, tugas kita di perwakilan untuk menanyakan apakah mereka mau didampingi pengacara Indonesia atau tidak," tuturnya.

Hermono juga menekankan perlunya pemerintah menyediakan pengacara jika terpidana WNI membutuhkannya.

"Kita perlu duduk bersama untuk melihat berapa sebetulnya kebutuhan anggaran untuk pengacara ini," kata dia, agar tak ada WNI terpidana yang merasa diabaikan karena tidak disediakan pengacara.

"Jangan sampai pemerintah dianggap tidak serius, tidak concern dengan alasan tidak punya anggaran. Jadi, kita harus pastikan," kata Hermono.

Dia menjelaskan, dari 78 WNI terpidana yang memungkinkan mengajukan PK, 69 di antaranya dijatuhi hukuman mati dan 9 lainnya dijatuhi hukuman seumur hidup.

Dari 78 WNI terpidana yang boleh mengajukan PK, 42 orang sudah mendapatkan PK, sedangkan 36 lainnya masih dalam proses mendaftarkan PK.