Dear Nathan: Thank You Salma, Kekerasan dan Pelecehan Seksual Adalah Kebiadaban, Harus Distop dan Perlu Hukuman Berat
Ilustrasi stop pelecehan seksual (foto: istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - “Menurut aku itu sangat menarik dan aku seneng banget bisa menjadi pesan dari yang ingin disampaikan itu dan isu pelecehan seksual itu kan sering terjadi apalagi di lingkungan pendidikan. Itu jarang banget diangkat oleh film apalagi film remaja romance diangkatnya tuh sangat realistically tapi juga dibalut dengan romance yang sangat kental.”

Kalimat di atas dituturkan Amanda Rawles dalam wawancara khusus dengan VOI. Amanda merupakan pemeran utama film Dear Nathan, yang merupakan sebuah drama percintaan remaja yang diadaptasi dari novel triogi karangan Erisca Febriani. Sekuel terakhir Dear Nathan yang saat ini sedang diputar di bioskop-bioskop Indonesia berjudul Dear Nathan: Thank You Salma.

Dalam sekuel terakhir tersebut dimunculkan tokoh Zanna, yang merupakan korban pelecehan seksual oleh temannya di Mapala. Karena ayah pelaku pelecehan adalah dosen di kampusnya, Zanna takut untuk melaporkan kejadian tersebut dan memilih untuk bungkam.

Amanda Rawles (Foto: Rapi Films, DI: Raga/VOI)

“Menurut aku dulu kekerasan seksual itu misalnya diperkosa, aku pikir cuman seperti itu padahal bukan kayak gitu bahkan dalam hubungan, kekerasan seksual itu juga ada makanya aku baru paham sekarang bahwa apapun yang terjadi without consent udah termasuk kekerasan seksual,” kata Amanda lagi dalam wawancara khusus dengan VOI.

Amanda pun punya pesan bahwa kekerasan seksual itu bukan salah korban. Selama tanpa izin, maka tindakan itu adalah kekerasan seksual.

Apa Beda Pelecehan dan Kekerasan Seksual?

Menurut naskah Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) oleh Komnas Perempuan, kekerasan seksual adalah setiap tindakan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang.

Tindakan yang bisa digolongkan kekerasan seksual, adalah: perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, perkawinan paksa, pamaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiasi bernuansa seksual, praktik tradisi yang membahayakan perempuan, dan kontrol seksual.

Ilustrasi kekerasan seksual (foto: Shutterstcok)

Pelecehan seksual mencakup perilaku seperti: rayuan seksual yang tidak diinginkan, meminta penukaran sesuatu dengan aktivitas seksual, serta perilaku seksual lainnya yang tidak diinginkan.

Menurut kriteria Rape Abuse & Incest National Network (RAINN), lembaga nirlaba antikekerasan seksual di AS yang didirikan Scott Berkowitz dan Tori Amos, yang digolongkan pelecehan seksual antara lain: membuat persyaratan atau kondisi tertentu dalam perekrutan karyawan dengan meminta aktivitas seksual sebagai pertukaran atau bayaran, secara gamblang maupun tersirat; pelecehan verbal yang menyinggung seksualitas seseorang, termasuk candaan porno; sentuhan fisik yang tidak diinginkan, mendiskusikan hubungan, cerita, atau fantasi seksual di kantor, tempat kerja, sekolah, kampus, atau tempat lain yang tidak sepantasnya; memaksa untuk berhubungan dengan seseorang secara seksual; mengirimkan pesan, teks, atau foto yang berbau seksual namun tidak diinginkan oleh penerimanya.

Kerasan Seksual di Lembaga Pendidikan

Dalam banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia, kejadian tersebut sering terjadi di institusi pendidikan. Kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual dalam beberapa waktu terakhir, mendominasi pemberitaan media. Beruntung, saat semakin banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dilaporkan oleh para korban.

Beberapa kasus yang terjadi di akhir 2021 antara lain pelecehan seksual di Universitas Riau pada November lalu. Akun instagram milik Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau mengunggah video berisi pengakuan seorang mahasiswi yang dilecehkan secara seksual oleh Dekan FISIP saat bimbingan skripsi.

Kasus serupa juga terjadi di Universitas Negeri Jakarta, saat seorang dosen mengirimkan chat bernada mesum kepada beberapa mahasiswi. Di Universitas Brawijaya (UB) Malang, terjadi juga kasus pelecehan seksual yang dialami seorang mahasiswi dari kakak angkatannya di Fakultas Ilmu Budaya UB. Kasus tersebut bahkan terjadi pada tahun 2017, dan baru dilaporkan pada Januari 2020.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Desember 2021 mengeluarkan data yang sangat mengejutkan tentang kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Sebanyak 55 persen pelaku ternyata berprofesi sebagai guru.

Kasus kekerasan seksual paling menghebohkan yang dilakukan seorang pendidik terhadap muridnya tentu perkosaan terhadap 13 santriwati oleh Herry Wirawan, pengasuh Pesantren Madani Boarding School di Cibiru, Bandung yang mencuat pada Desember 2021. Tindakan biadab Herry tersebut bahkan mengakibatkan beberapa muridnya hamil hingga melahirkan.

Herry Wirawan, terdakwa pemerkosa santriwati (foto: Antara)

Kasus kejahatan seksual yang dilakukan Herry ini sampai mengundang reaksi dan komentar dari pemerintah pusat, melalui Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Wapres meminta hukuman bagi pelaku kejahatan seksual agar dapat memberikan efek jera sehingga kekerasan dan kejahatan tersebut tidak terjadi berulang.

"Wapres meminta bagaimana hukuman terkait kejahatan seksual itu bisa menimbulkan efek jera. Wapres sangat prihatin dengan kondisi kejahatan seksual seperti itu. Plus Wapres minta pelaku dihukum seberat-beratnya," kata Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi saat memberikan keterangan pers virtual dikutip Antara, Minggu, 16 Januari.

Herry sendiri dituntut hukuman mati, kebiri, dan denda hingga Rp1 miliar. Pria berusia 36 tahun tersebut mengajukan keringanan hukuman terhadap tuntutan hukuman yang ditujukan kepadanya. Herry dituntut hukuman berat karena dia melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak di bawah umur.

Hukuman Kejahatan Seksual di Indonesia Masih Ringan

Hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual baik pelecehan maupun kekerasan di Indonesia dipandang masih lemah. Dalam hukum positif Indonesia, tidak dikenal istilah pelecehan seksual, kekerasan seksual, maupun kejahatan seksual. Istilah yang dikenal adalah perbuatan cabul.

Perbuatan cabul dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (pasal 281 sampai pasal 303). Perbuatan tersebut diartikan sebagai segala perbuatan yang dianggap melanggar kesopanan atau kesusilaan dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul.

Melihat kondisi seperti itu, di Indonesia pelaku pelecehan dan kekerasan seksual akan dijerat dengan pasal 289 hingga 296 KUHP. Korban harus membawa bukti-bukti yang cukup untuk menuntut seseorang yang dituduh pelaku, agar dapat didakwa di pengadilan. Andai kata terbukti bersalah, maka pelaku kejahatan seksual berupa pelecehan atau kekerasan hanya mendapatkan hukuman maksimal 5 tahun.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin, meminta agar pelaku kejahatan seksual dihukum berat. (foto: Antara)

Niat untuk membuat undang-undang baru soal kejahatan seksual juga tidak mudah. Rencana Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diganti menjadi Rencana Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual masih belum disahkan sebagai undang-undang. Padahal menurut banyak pihak, Indonesia sudah berada dalam posisi “darurat kekerasan seksual”.

Sejumlah pihak berharap memasukkan aspek kesusilaan agar diatur dalam RUU TPKS. Padahal, RUU TPKS dirancang untuk melindungi korban dari aspek yang lebih luas lagi, yaitu aspek kemanusiaan," ujar Lestari Moerdijat, Wakil Ketua MPR RI.

Lestari menilai meletakkan kekerasan seksual sebagai kejahatan kesusilaan dapat mengakibatkan degradasi derajat tindakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang kemudian hanya meletakkan kejahatan kekerasan seksual sebagai kejahatan moralitas.

"Memasukkan norma-norma kesusilaan dalam RUU TPKS akan berdampak norma tersebut malah tidak mampu menjangkau perlindungan terhadap korban sehingga berdampak pada melemahnya upaya penyelesaian secara hukum," katanya lagi.

Perbandingan dengan Negara Lain

Meskipun kasus kejahatan seksual terjadi di seluruh negara di dunia, namun pandangan di setiap negara bervariasi. Di Filipina misalnya, negara itu sudah memiliki Undang-undang Antipelecehan Seksual sejak 1995. Tujuan undang-undang itu dibuat adalah untuk melindungi pekerja, karyawan, pencari kerja, maupun pelajar di sekolah dan institusi kepelatihan.

India juga sudah memiliki regulasi hukum terhadap kasus kekerasan seksual, yang mengatur definisi, bentuk, serta hukuman bagi pelaku kekerasan seksual baik pelecehan maupun kekerasan. Inggris juga sudah mengubah Undang-undang Diskriminasi tahun 1975, dengan manambahkan pasal soal kekerasan seksual sebagai bagian dari diskriminasi di tahun 1986.

Presiden Jokowi saat membuka sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, pada 10 Mei 2016, menyatakan kejahatan seksual yang marak terjadi sebagai bentuk kejahatan berat yang harus ditangani serius. Tetapi hampir enam tahun berlalu instruksi tersebut tak kunjung terlaksana, padahal Indonesia sudah dalam kondisi “darurat kekerasan seksual”.