Kasus Video Mesum Rebecca Klopper: Menanamkan Pemahaman Norma kepada Remaja Sangatlah Penting
Rebecca Klopper, lagi-lagi tersandung kasus video porno. (Instagram/@rklopperr.fans)

Bagikan:

JAKARTA - Artis muda Rebecca Klopper kembali menjadi buah bibir setelah video mesum yang mirip dirinya beredar di dunia maya. Dalam video berdurasi 11 menit tersebut, tampak sosok perempuan mirip Rebecca sedang bermesraan dengan pria.

Ini bukan pertama kalinya Rebecca tersandung video mesum. Pada Mei silam, artis kelahiran 21 tahun lalu ini juga booming karena video syur part pertama.

Rebecca sebenarnya bukan artis pertama yang video pribadinya jadi konsumsi publik. Tapi meski sudah banyak contoh perihal kerugian merekam aktivitas pribadi, sepertinya masih banyak orang tak mengindahkan risiko yang mengintai.

Datangkan Kepuasan Tersendiri

Terlepas dari video tersebut Rebecca Klopper atau bukan, namun masyarakat sebaiknya bisa mengambil pelajaran bahwa merekam kegiatan seks bukanlah ide yang bijak. Risiko kebocoran video rekaman tersebut tidak sepadan dengan kesenangan yang mungkin dirasakan saat pengambilan video syur.

Menurut psikolog sekaligus terapis seks Lori Lawrenz, salah satu risiko yang diambil adalah bisa mencederai privadi. Konten seks yang sudah diabadikan atau dibagikan ke pasangan bukan tidak mungkin disebarluaskan hingga menjadi konsumsi masyarakat luas.

“Bahayanya bahwa satu atau lebih orang akan berbagi gambar dan pesan suara, teks, atau video tanpa izin pengirimnya,” kata Lawrenz mengutip Medical News Today.

Fenomena merekam kegiatan seks sudah sangat sering terjadi. Sebelum ini, artis Gisella Anastasia juga harus menanggung malu karena video syur miliknya tersebar di media sosial.

Psikolog anak, remaja, dan keluarga Sani Budiantini Hermawan mengatakan, menilai salah satu merekam video adegan seks yang kebanyakan dilakukan anak muda adalah karena mereka ingin memberikan kepuasan sendiri.

Ilustrasi perilaku seks bebas, suatu hal yang sering dianggap lumrah oleh sebagian remaja di Indonesia. (Freepik)

“Secara umum anak muda atau seseorang seringkali mengeksplor hal-hal yang sifatnya menurut dia menarik untuk direkam. Entah itu untuk eksplorasi atau konsumsi pribadi, menjadi motif anak muda sekarang yang berbeda dari orang lain. Berani mengeskplor atau berani mengeluarkan hal-hal di luar norma masyarakat memberikan kepuasan tersendiri, karena di era digital semua orang punya panggung dan dengan melakukan itu mereka merasakan kepuasan tersendiri,” kata Sani kepada VOI.

Kemajuan teknologi disebut sebagai salah satu bukti majunya peradaban manusia. Sayang, teknologi tidak hanya berdampak positif dalam kehidupan tapi juga memberkan dampak negatif, termasuk masuknya budaya barat yang kian mudah diakses anak muda. Kemajuan teknologi dinilai turut andil dalam peningkatan pergaulan bebas sehingga menggeser nilai-nilai luhur yang dianut budaya timur, termasuk Indonesia.

“Di era digital setiap orang bebas melihat apa yang dia mau, kemudian dia meniru, memiliki kebebasan melakukan apa yang dia inginkan. Pada akhirnya nilai-nilai nenek moyang, nilai luhur keluarga akhirnya jadi terdegradasi, ditambah masuknya nilai-nilai dunia barat. Kita tahu di negara Indonesia, segala sesuatu berlandaskan norma agama, namun sekarang sudah minim karena masuknya pengaruh budaya barat,” Sani menambahkan.

Ancam Nilai Moral Bangsa 

Sementara itu, dalam jurnal Perilaku Seks Bebas pada Remaja dan Penangannya disebutkan bahwa maraknya seks bebas dipengaruhi salah satunya oleh internal individu itu sendiri. Perasaan saling suka dengan menjadikan seks sebagai pembuktian cinta antara kekasih atau rasa ingin tahu.

Seks bebas juga terjadi karena kurangnya perhatian orang tua kepada anak. Saat individu merasakan kurang kasih sayang, maka mereka mencoba mencari kasih sayang dari orang lain. Dengan melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka meyakini bahwa mereka mendapatkan kasih sayang dari pasangan mereka.

Tersebarnya video aktivitas seks tentu sangat merugikan, utamanya bagi perempuan yang kerap menjadi korban. Menurut psikolog klinis forensik Kasandra Putranto, korban terancam merasa dikhiniati ketika video seks-nya tersebar. Bahkan, tidak jarang korban menjadi depresi dan memiliki kecemasan yang tinggi.

“Video pribadi sering disebarkan oleh orang terdekat dan membuat korban kesulitan untuk mempercayai orang. Saat momen pribadi mereka tersebar, korban kerap merasa bahwa mereka ‘kotor’ dan tidak layak. Trauma yang dirasakan oleh korban dapat mengakibatkan korban untuk menarik diri dari komunitas karena merasa malu, tidak pantas dan diadili oleh masyarakat luas,” Kasandra menjelaskan.

Sementara itu, Sani Budiantini Hermawan menyebutkan seks bebas di kalangan remaja juga berpotensi menggeser nilai-nilai ketimuran yang dianut di Indonesia.

Psikolog anak dan remaja, Sani Budiantini Hermawan.(sadari.id)

“Efek jangka panjangnya, negara ini kalau tidak menjaga nilai-nilai ketimuran, akhirnya seperti negara barat yang serba bebas serba vulgar, serba tidak ada kesopanan, jadi budaya vulgar.”

Sani menambahkan pentingnya memperkenalkan nilai agama kepada anak sejak dini, meski butuh proses yang tentu tidak mudah. Dia pun mengajak para orang tua untuk menjadi role model yang positif supaya bisa diikuti oleh anak yang nantinya akan terbawa sampai mereka beranjak remaja.

Di sisi lain, Kasandra Putranto mengatakan, cara untuk mencegah remaja terhindar dari seks bebas adalah dengan memberikan informasi yang memadai mengenai pergaulan bebas dan reproduksi yang benar. Hal ini dapat dimulai dengan membuka diskusi di lingkungan rumah.

“Saat individu mendapatkan informasi yang benar dari usia muda, mereka akan mengerti mengapa mereka harus menjaga diri mereka sendiri. Orang tua tidak dapat mengawasi anak mereka seharian apalagi dengan teknologi yang semakin canggih, tapi jika anak sudah dibekali pengetahuan yang baik, maka mereka sendiri akan tahu cara untuk menjaga diri mereka sendiri, termasuk di dalamnya keahlian melindungi diri dari potensi kejahatan seksual dalam bentuk apapun,” pungkas Kasandra.

Terkait