Menaikkan Tarif PPN Jadi 12 Persen untuk Menambah Pendapatan Negara adalah Cara Paling Tidak Kreatif
Seorang mahasiswa membentangkan poster saat berunjukrasa di DPRD Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (13/4/2022). (Antara/Jessica Helena Wuysang/aww)

Bagikan:

JAKARTA – Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditetapkan naik menjadi 12 persen mulai tahun depan tengah disorot berbagai kalangan. Mulai dari pengacara kondang Hotman Paris Hutapea dan ekonom menilai kenaikan PPN hanya akan membebani masyarakat.

Kepastian bahwa PPN tetap naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 diumumkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto beberapa waktu lalu. Hal ini dipastikan setelah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dalam Pemilihan Presiden 2024.

Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (Antara/Muhammad Adimaja/tom/aa)

Pasangan nomor urut dua ini menegaskan akan melanjutkan program Presiden Joko Widodo (Jokowi), termasuk urusan perpajakan.

"Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tetap kalau berkelanjutan berbagai program yang dicanangkan pemerintah tetap akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN," ujar Airlangga di Kantornya, Jumat (8/3).

Menggerus Daya Beli Masyarakat

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengkritik kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Menurut Bhima kenaikan tersebut mengancam daya beli masyarakat kelas menengah.

Bhima meramalkan kenaikan PPN bisa menurunkan daya beli masyarakat terhadap produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik atau skincare. Ia bahkan khawatir kebijakan terbaru ini justru akan melahirkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kelas menengah sudah dihantam kenaikan harga pangan terutama beras, suku bunga tinggi, sulitnya cari pekerjaan, ke depan masih ditambah penyesuaian tarif PPN 12 persen,” kata Bhima kepada VOI.

“Imbas lain tentu ke pelaku usaha sendiri karena penyesuaian harga akibat naiknya tarif PPN berimbas ke omzet dan pada akhirnya ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Khawatir tarif PPN naik bisa jadi PHK di berbagai sektor,” imbuh Bhima.

Kenaikan tarif PPN juga dikeluhkan pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Melalui akun Instagram pribadinya, Hotman menyebut rakyat akan menjadi korban karena kenaikan PPN menjadi 12 persen bisa turut mengerek kenaikan harga produk dan jasa.

"Pajak naik lagi! Hai kau kau: jangan bilang rasain Hotman! Sebab pajak naik maka harga produk dan jasa naik dan akhirnya rakyat yang bayar! Pelajaran bagi yang tidak sadar," kata Hotman.

Bukan Solusi Dongkrak Pendapatan Negara

Kenaikan PPN sejalan dengan pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam beleid itu pemerintah dan DPR menetapkan PPN naik jadi 11 persen mulai 2022 dan menjadi 12 persen mulai 2025.

Mengutip Online Pajak, PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para pedagang atau penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah konsumen akhir.

PPN dikenakan ke konsumen ada dua jenis. Pertama, dipungut dan ditentukan besarannya oleh Pemerintah Daerah (Pemda) yang disebut PB1.

Pemerintah diminta lebih kreatif untuk menaikkan pendapatan negara, bukannya dengan menaikkan tarif PPN. (Pixabay)

PB1 saat ini masih sebesar 10 persen. PB1 dikenakan kepada konsumen, misalnya ketika makan di restoran. Pajak ini adalah tambahan biaya dari keseluruhan pembelian konsumen yang dipungut oleh pemda untuk keperluan daerah yang bersangkutan.

Sementara, PPN yang secara umum akan dinaikkan menjadi 12 persen pada 2025 adalah yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.

Beberapa transaksi yang dikenakan PPN adalah pembelian rumah, kendaraan bermotor, layanan internet, sewa toko dan apartemen hingga jasa langganan Netflix dan sebagainya. Artinya, jika PPN naik maka harga barang dan jasa tersebut ikut merangkak naik.

Kebijakan menaikkan tarif PPN merupakan salah satu usaha pemerintah meningkatkan jumlah penerimaan negara di sektor pajak. Beban keuangan negara yang meningkat pascapandemi COVID-19 memaksa pemerintah meningkatkan tarif tersebut, karena pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar saat ini.

Tapi Bhima berpendapat kenaikan tarif PPN bukan solusi utama menaikkan pendapatan negara. Ia mendesak pemerintah membatalkan rencana penyesuaian tarif PPN dan membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax), pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon sebagai alternatif dibatalkannya PPN 12 persen.

“Kalau mau dorong rasio pajak perluas dong objek pajaknya bukan utak atik tarif. Menaikkan tarif pajak itu sama dengan berburu di kebun binatang alias cara paling tidak kreatif,” pungkas Bhima.