Program <i>Shrimp Estate</i> di NTT Dipastikan Tak Rusak Lingkungan, KKP Berikan Penjelasan Ini
Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik KKP Doni Ismanto (Foto: Theresia Echa/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan perluasan program shrimp estate atau skema budi daya udang berskala besar yang bakal dilakukan di kawasan Waingapu, Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), tak akan merusak ekosistem mangrove di Indonesia.

Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik KKP Doni Ismanto menyebut, pihaknya bakal belajar dari shrimp estate yang telah dibangun di Kebumen, Jawa Tengah, yang mana telah memiliki dokumen lengkap terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

"Gimana mau berpotensi (merusak lingkungan), kan belum dikerjakan. Terus belajar dari yang Kebumen justru kami itu mau kasih contoh yang benar gimana. Yang di Kebumen itu, kan, jelas ada IPAL-nya, ambil airnya dari mana buang limbah kemana, itu semuanya jelas gitu loh," ujar Doni kepada VOI saat ditemui di sela-sela agenda Indonesia Marine and Fisheries Business Forum 2024 di Jakarta, Senin, 5 Februari.

Doni menilai, pengerjaan shrimp estate yang telah selesai dilakukan di Kebumen pun sudah memiliki izin ruang laut. Bahkan, kata dia, izin ruang laut itu pihaknya sendiri yang melakukan.

"Kebumen itu, kan, skala kecil makanya ini ada (rencana) di Waingapu skala besar. Di Kebumen kami, kan, kerjain semuanya lengkap. Bahkan, kami itu pakai Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) segala, kami ini yang mengeluarkan PKKPRL, kami juga yang coba," ucapnya.

"Jadi, izin ruang lautnya saja kami keluarkan, Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) daratnya kami urus. Jadi, semuanya lengkap," sambungnya.

Lebih lanjut, kata Doni, nantinya pengerjaan program shrimp estate yang akan dilakukan di Waingapu bakal memiliki dokumen lengkap terkait AMDAL dan izin ruang lautnya.

Sehingga, diharapkan ke depannya tidak akan menyebabkan kerusakan lingkungan di sekitar kawasan tersebut.

"Ini baru perencanaan semua. Jadi, kalau orang bilang di situ akan rusak, apa yang mau rusak orang belum dikerjain. Belum ngapa-ngapain," tuturnya.

"Jadi, harus ada surat-surat itu, (termasuk) izin lingkungannya ada. Izin lingkungan itu, kan, ada AMDAL-nya jadi enggak sembarangan," ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut, program shrimp estate atau skema budi daya udang berskala besar akan merusak ekosistem mangrove di Indonesia.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Parid Ridwanuddin mengatakan, program tersebut tidak jauh berbeda dengan food estate yang terbukti telah merusak lingkungan.

Bedanya, kata Parid, program itu dilaksanakan di pesisir, sedangkan food estate di darat.

"Jadi, kalau di darat, di hutan (food estate) itu kami tahu gagal. Nah, kegagalannya ingin diulang di pesisir," kata Parid dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 23 Januari.

Parid mengatakan, program shrimp estate utamanya difokuskan untuk udang jenis vaname. Sebab, udang jenis ini memiliki pangsa pasar yang besar, baik di luar negeri maupun dalam negeri.

Hal inilah yang mendorong pemerintah kemudian menginisiasi program shrimp estate.

Adapun PT Hutama Karya (Persero) dimandatkan untuk mengerjakan proyek konstruksi rancang dan bangun budi daya udang terintegrasi (Integrated Shrimp Farming) di Desa Palakahembi, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Kami akan mengerjakan jaringan pipa, kolam budi daya, instalasi pengolahan air limbah (IPAL) serta fasilitas kawasan dan pengadaan peralatan pendukung, dengan waktu pengerjaan selama 1.095 hari kalender," ujar Executive Vice President (EVP) Sekretaris Perusahaan Hutama Karya Tjahjo Purnomo dikutip dari laman resmi Hutama Karya, Kamis, 1 Februari.

Proyek senilai Rp7,11 triliun yang akan dibangun di atas lahan seluas 2.085 hektare (ha) ini digarap melalui kerja sama operasi (KSO) dengan PT Adhi Karya (Persero) Tbk, Hutama Karya dan PT Minarta Dutahutama (KSO Adhi-HK-Minarta).