Bagikan:

JAKARTA - Saat sakit, banyak orang yang merasa tidak nyaman dan lebih memilih beristirahat untuk memulihkan tubuh. Namun, sering kali kita mendengar bahwa pria cenderung lebih manja atau menunjukkan gejala yang lebih berlebihan saat sakit dibandingkan wanita.

Fenomena ini telah menjadi bahan perbincangan populer, terutama dalam konteks teori 'man flu' atau flu pria, yang menggambarkan pria sebagai sosok lebih dramatis dan membutuhkan perhatian ekstra saat mereka sakit. Tapi, apakah ada alasan ilmiah di balik perilaku ini?

Meskipun bukti ilmiah yang mendukung teori ini belum sepenuhnya meyakinkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel-sel imun pria dan wanita merespons virus yang menyerang dengan cara yang berbeda.

Sebuah studi menyebut pria memang lebih rentan terhadap beberapa jenis penyakit, dan bahwa faktor fisiologi, bukan psikologi, mungkin menjadi penyebab utamanya.

Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Brain, Behavior and Immunity menunjukkan bahwa tikus jantan dewasa menunjukkan lebih banyak gejala sakit dibandingkan betina ketika terpapar bakteri yang menyebabkan penyakit dengan gejala mirip flu. Mereka juga mengalami fluktuasi suhu tubuh yang lebih besar, demam, tanda-tanda peradangan, dan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih.

Meskipun penelitian pada hewan laboratorium belum tentu berlaku untuk manusia, hasil penelitian ini tetap memberikan pertanyaan menarik dalam bidang ilmu kesehatan manusia.

Menurut Sabra Klein, profesor mikrobiologi molekuler dan imunologi di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health mengatakan beberapa studi dengan sel-sel manusia serta pada tikus, menunjukkan bahwa sel-sel imun pria memiliki lebih banyak reseptor aktif untuk patogen tertentu.

“Bukan selalu karena keberadaan mikroba atau virus yang membuat kita sakit,” kata Klein, dikutip VOI dari laman Time Megazine pada Senin, 17 Februari.

"Respons imun kita lah yang berperan, dan penelitian menunjukkan bahwa pria memiliki respons lebih kuat menarik sel-sel imun ke lokasi infeksi, yang berkontribusi pada perasaan sakit secara keseluruhan," tambahnya.

Penyebab pasti dari fenomena ini belum sepenuhnya dipahami, namun salah satu hipotesis menyatakan bahwa testosteron dan estrogen mempengaruhi reseptor imun ini dengan cara yang berbeda.

Temuan baru pada tikus ini tidak mendukung hubungan antara hormon seks dan sakit, tetapi beberapa penelitian lain justru mendukungnya. Sebagai contoh, studi Klein pada tahun 2015 mengenai sel manusia menemukan senyawa berbasis estrogen membuat virus flu lebih sulit menginfeksi sampel tersebut.

Teori lain yang dikemukakan dalam studi 2010 oleh para peneliti dari University of Cambridge menyatakan bahwa pria berevolusi untuk memiliki sistem imun yang lebih lemah dan kekebalan yang lebih rendah akibat perilaku mereka cenderung berisiko.

Penelitian lain menunjukkan bahwa karena wanita lebih mudah menularkan patogen ke anak-anak, mereka telah membangun pertahanan alami yang lebih kuat terhadapnya.

Namun, perlindungan ini tidak berlaku untuk semua jenis penyakit. Dalam sebuah artikel 2016 yang dipublikasikan di Nature Reviews Immunology, Klein mencatat bahwa meskipun pria menunjukkan kerentanannya terhadap penyakit tertentu, seperti kanker non-reproduksi, wanita lebih rentan terhadap penyakit lain, seperti penyakit autoimun.

Mengenai 'man flu', ada faktor lain yang juga berperan. Penelitian menunjukkan bahwa pria cenderung lebih jarang mencuci tangan secara teratur dan lebih jarang mengunjungi dokter secara teratur.

"Norma budaya jelas mempengaruhi perilaku kita. Jadi kemungkinan besar ini adalah kombinasi dari berbagai faktor yang saling terkait.” lanjut Klein.