Bagikan:

JAKARTA - Obat penumbuh rambut pada kasus rambut rontok, meskipun menjanjikan hasil instan, ternyata menyimpan sejumlah risiko kesehatan serius.

Beberapa formulasi, terutama yang mengandung bahan aktif seperti finasterida, diketahui dapat menimbulkan dampak negatif seperti gangguan fungsi seksual, gangguan suasana hati, hingga penurunan kemampuan kognitif. Efek-efek ini bisa berlangsung dalam jangka panjang, bahkan setelah penggunaan dihentikan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mengungkapkan bahwa obat topikal untuk mengatasi rambut rontok yang biasanya diresepkan oleh dokter, dapat menimbulkan efek samping serius. Efek tersebut meliputi disfungsi ereksi, kecemasan berlebih, hingga kondisi yang dikenal sebagai "brain fog" atau kabut otak—di mana seseorang merasa sulit berkonsentrasi dan berpikir jernih.

Mengutip laporan Health, finasterida yang biasa dikonsumsi secara oral dengan merek dagang seperti Propecia dan Proscar bekerja dengan cara menghambat konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT), hormon yang berperan dalam kerontokan rambut.

Walaupun secara umum dianggap aman, penggunaan finasterida secara oral telah dikaitkan dengan gejala fisik dan psikologis yang bertahan lama, bahkan setelah konsumsi obat dihentikan. Kondisi ini dikenal dengan nama sindrom pascafinasterida (Post-Finasteride Syndrome/PFS), yang ditandai dengan gangguan seksual, penurunan energi, hingga gejala depresi.

Meskipun FDA telah menyetujui bentuk oral dari finasterida sejak 1990-an, hingga kini belum ada persetujuan resmi untuk versi topikalnya. Menurut Dr. Deidre Hooper, dokter kulit dari Audubon Dermatology, penggunaan finasterida topikal masih termasuk dalam kategori "off-label" atau penggunaan di luar indikasi yang disetujui.

Data FDA menunjukkan dalam kurun waktu 2019 hingga 2024, ada 32 laporan kasus efek samping terkait penggunaan finasterida dalam bentuk topikal. Gejala yang dilaporkan mencakup penurunan libido, insomnia, rasa lelah berkepanjangan, nyeri pada testis, bahkan dorongan untuk bunuh diri.

Dr. Ronda Farah, profesor madya dermatologi dari Universitas Minnesota, menjelaskan bahwa belum diketahui secara pasti mengapa sebagian orang mengalami efek samping yang berkepanjangan. Kurangnya penelitian terhadap obat racikan topikal dan perbedaan formulasi antar apotek menambah kompleksitas dalam memahami risikonya.

"Setiap apotek bisa meracik dengan takaran yang berbeda. Semakin tinggi dosis yang digunakan, semakin besar potensi timbulnya efek samping," kata Farah. Ia juga menambahkan bahwa dunia medis masih berupaya memahami seberapa besar dosis topikal yang bisa memicu dampak negatif serupa dengan versi oralnya.