Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 19 Februari 2018, sutradara kenamaan Indonesia, Joko Anwar mengungkap pembajakan film terjadi karena akses film terbatas. Kondisi itu karena film yang biasanya turun di bioskop tak lagi tersedia secara legal.

Orang-orang lalu beralih ke medium bajakan. Sebelumnya, tren pembajakan di Indonesia kian marak. Dulu pembajakan tersedia lewat keping-keping CD bajakan. Kini pembajak sudah memanfaat kemajuan teknologi. Mereka menyediakan situs nonton film ilegal.

Aktivitas pembajakan adalah musuh utama sineas film di dunia. Pelaku pembajakan coba mengambil manfaat dari film populer dengan menggandakan karya tanpa izin. Mereka dapat uang. Sedang sineas film gigit jari.

Kondisi yang sama kerap terjadi dalam industri film Indonesia. Pembajakan jadi hal yang paling ditakuti. Pembajakan sama saja dengan mematikan pintu rezeki kepada mereka yang berkecimpung di dunia film. Dulu para pembajak menggandakan suatu film dengan menjualkan CD bajakan.

Kini pembajak mulai memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dengan mengunduh film ke dalam suatu situs. Situs itu nantinya dapat diakses semua orang. Para pembajak bisa dapat uang dari iklan yang tersedia di situs.

Seorang pedagang mengatur CD dan DVD film bajakan di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, Rabu (26/9/2020). (FOTO ANTARA/Zabur Karuru)

Pemerintah tak tinggal diam. Empunya kuasa kerap melakukan pemblokiran supaya situs film ilegal tak dapat diakses, kemudian pelakunya dapat tertangkap. Situs film bajakan bahkan mencapai ratusan. Masalahnya bukan perkara mudah menangkap pembajak.

Fenomena itu mengundang banyak orang untuk berbicara penyebab dan langkah pencegahan pembajakan. Jusuf Kalla (JK) pun angkat bicara ia mengungkap alasan utama merebaknya pembajakan adalah harga tiket bioskop yang mahal.

Kondisi itu menghadirkan pasar baru, pasar film bajakan. Nonton ke bioskop bisa mengeluarkan uang dari Rp30 ribu hingga Rp50 ribu. Warga miskin takkan bisa mengaksesnya. Belum lagi tak semua daerah di Indonesia punya bioskop.

"Menonton di bioskop itu mahal, makanya banyak masyarakat Indonesia yang memilih membeli bajakan. Masih banyak buruh yang penghasilannya mungkin Rp50.000 per hari. Tidak mungkin mereka bisa nonton di bioskop, jadilah mereka membeli film bajakan yang Rp7.000 saja.”

"Mereka yang di kotanya tidak punya bioskop mau menonton di mana? Pilihan mereka ya hanya membeli film bajakan," ungkap Jusuf Kalla sebagaimana dikutip laman tirto 2 Agustus 2016.

Beda JK, beda pula sutradara kenamaan Indonesia, Joko Anwar. Joko punya pandangannya sendiri terkait maraknya pembajakan pada 19 Februari 2018. Joko menekankan bahwa pembajakan murni hadir karena akses film terbatas saja.

Film legal tak tersedia setiap saat jadi muara munculnya pembajakan. Joko pun menganggap solusi untuk masalah itu adalah munculnya banyak platform yang menyediakan film secara legal. Platform itu dapat diakses dari mana saja dan kapan saja lewat layanan streaming.

Langkah itu dianggapnya akan membuat pembajakan berkurang. Joko pun menerapkan hal itu dalam film karyanya Pengabdi Setan (2017). Film yang awalnya muncul hanya di bioskop, setelah turun dari bioskop Pengabdi Setan mulai masuk ke platform aplikasi penyedia film legal.

"Saya percaya bahwa pembajakan itu terjadi ketika akses sebuah film susah. Zaman dulu kan susah nonton film, kita mau nonton film tapi filmnya tidak tersedia secara legal jadi orang banyak nonton di medium bajakan. Tapi kalau misalnya ada suatu platform yang kapan aja bisa kita tonton aku rasa akan sangat bisa mengurangi pembajakan."

"Jadi setelah tayang di bioskop di Indonesia, Pengabdi Setan akan tayang melalui streaming platform dan ini adalah satu bentuk distribusi yang baik bagi masyarakat. Jadi gini sebuah film dari Indonesia mau dibeli oleh negara lain, distributornya pasti akan ngecek dulu filmnya apa sudah tersedia secara ilegal apa enggak dan biasanya itu mempengaruhi keinginan mereka untuk membeli sebuah film di negara mereka," terang Joko sebagaimana dikutip laman kompas.com, 19 Februari 2018.