5 Pertimbangan Sebelum Punya Anak yang Harus Didiskusikan dengan Pasangan
Ilustrasi seorang ibu mengasuh anak (Unsplash/Ana Tablas)

Bagikan:

SURABAYA - Dalam pernikahan, memiliki keturunan adalah salah satu kebahagiaan sekaligus cita-cita. Namun, untuk menuju ke arah situ, masing-masing pasangan harus memiliki kesiapan yang matang, terutama dari pembekalan parenting. Ada beberapa pertimbangan sebelum punya anak yang harus didiskusikan dengan pasangan. Sehingga kepercayaan "banyak anak banyak rezeki" perlu ditinjau ulang oleh pasangan.

Menurut Dr. (HC) Hasto Wardoyo, Sp.Og.(K), Kepala BKKBN RI diwawancara VOI, Rabu, 16 Februari, kepercayaan yang mengatakan "banyak anak banyak rezeki" nyatanya perlu digali lagi. Pasalnya, ada risiko yang berpotensi dialami.

5 Pertimbangan Sebelum Punya Anak

Tidak hanya untuk pemenuhan tanggung jawab orang tua yang semakin teruji jika memiliki banyak anak, tetapi juga kesehatan fisik maupun psikologis seluruh elemen keluarga yang bisa dipertaruhkan. Berikut pertimbangan penting sebelum memutuskan memiliki banyak anak.

1. Kuantitas tidak merepresentasikan kualitas

Konteks ruang dan waktu perlu dipertimbangkan oleh orang tua yang ingin memiliki anak lebih banyak dari 2. Menurut Hasto, anak sekarang lebih hidup dari kualitas, bukan kuantitas.

“Pada saat itu yang kita pikirkan ya karena orang tua punya sawah luas, punya kebun luas, punya ternak banyak, itu kalau kebunnya luas banyak yang nyangkul. Banyak yang mengurus, pasti sawahnya panen banyak. Jadi banyak anak banyak rezeki. Tetapi sekarang ini sawah luas ya, kalaupun punya sawah luas anaknya enggak mau mencangkul, enggak mau mengerjakan,” tutur Hasto Wardoyo.

Seturut dengan penjelasan di atas, memiliki banyak anak tidak menentukan lahirnya generasi yang berkualitas. Sebab perlu menjamin kesejahteraan anak-anak dari sejak dalam kandungan hingga ia menapaki kehidupan mandiri.

2. Semakin banyak anak semakin memberatkan orang tua

Pandangan ‘banyak anak banyak rezeki’ tak lagi relevan. Mengingat tingkat kesejahteraan keluarga yang perlu dibangun dan diupayakan.

“..kalau jumlahnya banyak ya, perlu dipikirkan lagi untuk membangun keluarga besar untuk menjamin kesejahteraannya. Ini tidak membangun tetapi menjadi beban untuk membangun itu. Ini perlu disadari bersama, pemikiran ‘banyak anak banyak rezeki’ sudah tidak relevan lagi,” imbuh Hasto.

3. Pertimbangkan kesehatan ibu

Kehamilan perlu direncanakan dan dipertimbangkan berkaitan dengan usia ibu, jarak kehamilan, kesehatan reproduksi, dan kesehatan ibu secara keseluruhan. Kehamilan ideal pada ibu usia setelah 20 tahun dan sebelum 35 tahun.

Kehamilan ibu usia muda kurang dari 20 tahun bisa membahayakan kesehatan di masa mendatang. Seperti tulang ibu jadi keropos dan berisiko mengalami kanker serviks.

“Ini hukum alam, sebelum umur 20 tahun, mulut rahim menghadap ke luar. Kalau melanggar hukum alam ini, ya pasti terkena kanker,” terang Hasto mengenai risiko kehamilan pada usia rentan.

4. Jarak kehamilan dan kelahiran terlalu dekat berisiko pada psikis anak

Disamping usia ideal ibu hamil, jarak kelahiran juga penting untuk dipertimbangkan. Idealnya, jarak kelahiran berusia 36 bulan. Misalnya, ketika anak pertama sudah berusia lebih dari 2 tahun atau masa minum ASI sudah selesai, baru orang tua boleh memikirkan untuk punya momongan lagi.

“Orang hamil itu jangan terlalu muda, kurang dari 20 tahun tidak boleh. Jangan terlalu tua, lebih dari 35 tahun ibu hamil berisiko mengalami keguguran, anak mengalami cacat, dan kematian. Jangan terlalu sering, jarak melahirkan itu 36 bulan,” jelas Kepala BKKBN RI.

Jarak usia terlalu dekat juga akan beriko pada psikis anak. Ketika si kecil masih membutuhkan banyak perhatian dari orang tua, ia harus berbagi dengan adiknya. Dalam bidang psikologi, kondisi ini dikenal dengan big-sibling-blues. Kondisi ini hadir rasa cemburu, kesal, dan penolakan pada kelahiran adiknya. Maka, orang tua perlu mempertimbangkan juga jarak kelahiran supaya perkembangan si kecil tetap optimal tanpa mengusik kondisi psikisnya.

5. Pahami risiko stunting

Mengutip laman BKKBN, stunting adalah kondisi gagal tumbuh kembang anak balita akibat kekurangan gizi saat mereka dalam kandungan hingga dilahirkan kedunia. Kondisi stunting baru terlihat pada usia anak 2 tahun.

Artinya, risiko ini perlu menjadi pertimbangan orang tua ketika merencanakan punya momongan. Termasuk pertimbangan pemenuhan kecukupan gizi dan nutrisi anak ketika masih dalam kandungan hingga masa perkembangan anak setelah lahir.

Itulah kelima pertimbangan yang penting untuk dihayati dan dipraktikkan dalam melahirkan generasi yang sehat, cerdas, dan berkualitas.