SURABAYA – Pakar keamanan siber Pratama Persadha menyatakan pencurian data yang masih terjadi di Indonesia dapat berpengaruh pada minat investor. Apa yang sudah terwujudnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang hingga kini masih digodok DPR.
"Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) hingga sekarang belum selesai. Kalaupun sudah selesai, perlu dibaca secara cermat apakah isinya cukup kuat untuk melindungi masyarakat atau sebaliknya," kata Pratama Persadha, dikutip dari Antara , Minggu, 6 Juni.
BACA JUGA:
UU Perlindungan Data Pribadi Dinilai Sangat Penting
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC menilai, tanpa-undang tersebut semua pengendali data pribadi (platform penyedia) tidak ada petunjuk sejauh mana pengamanan harus dilakukan dan standar macam apa yang harus mereka gunakan.
Oleh karena itu, kata Pratama, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi termasuk salah satu yang wajib dikebut penyelesaiannya hingga menjadi undang-undang.
"Dengan kondisi saat ini, perlindungan pada data pribadi masyarakat di Tanah Air sangat rendah," kata Pratama yang pernah menjadi pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang kini menjadi BSSN.
Situasi seperti ini, kata Pratama, sebenarnya tidak sehat, apalagi jika menginginkan banyak investor masuk. Masalah, mereka akan melihat bagaimana perlindungan negara pada data penduduknya.
Hal itu, lanjut dia, yang menjadikan peringkat Indonesia Rendah di NCSI (National Cyber Security Index) yang dibuat oleh Estonia. Berdasarkan data NCSI menunjukkan Indonesia di peringkat ke-77 atau turun dari sebelumnya yang berada di peringkat ke-72.
Ia yang menyebabkan peringkat serendah itu menyebutkan regulasi tentang perlindungan data pribadi dan regulasi pertahanan siber nasional.
Menjawab hal yang terkait dengan semakin banyak aplikasi pada masa pandemi COVID-19 di tengah kesadaran berkeamanan siber masih rendah, Pratama menegaskan bahwa pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan pertama adalah UU Perlindungan Data Pribadi.
Tidak pelak lagi, kata dia, banyak peristiwa kebocoran data pribadi namun tidak jelas bentuk pertanggungjawaban secara hukum dan langkah-langkah teknis dari negara maupun swasta.
Apalagi sejauh ini tidak ada regulasi yang melindungi data pribadi secara kuat. Akibatnya, bisa banyak terjadi kebocoran data, baik di lembaga negara maupun swasta, tetapi tidak ada yang bertanggung jawab, tidak ada evaluasi, dan tidak ada ganti rugi bagi masyarakat.
Pratama mengingatkan warganet ketika memilih aplikasi maupun situs internet harus selektif, terlebih dahulu melihat ulasan pada aplikasi. Bila jumlah, lebih baik tidak menginstalnya.
"Bila masuk aplikasi dan situs diminta memasukkan berbagai data yang tidak relevan, sebaiknya hindari saja karena itu adalah aplikasi dan situs phishing," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang dengan judul UU PDP Belum Rampung, Tingkat Keamanan Siber Indonesia Jadi Sorotan Investor.