World Bank : Indonesia Berada di Peringkat ke-12 yang Menghadapi Risiko Terbesar Akibat Bencana Alam
Ilustrasi dampak bencana di Indonesia (Antara)

Bagikan:

SURABAYA - Indonesia berada di peringkat ke-12 dari 35 negara yang berpotensi menghadapi risiko terbesar akibat bencana alam. Laporan tersebut dikeluarkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan dilansir dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) beberapa waktu lalu.

Tanah Air Terancam Bencana

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menjelaskan, hampir semua wilayah di Tanah Air punya risiko atas lebih dari 10 jenis bencana alam.

“(Bencana tersebut) Antara lain gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsong, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrem, gelombang ekstrim, kekeringan, dan likuifaksi,” ujarnya dalam keterangan pers dikutip Senin, 6 Desember.

Kondisi ini, kata Febrio, cukup menantang seiring dengan munculnya bencana yang dikategorikan bersumber dari gejala nonalam. Saat ini, Indonesia juga tengah menghadapi bencana nonalam yakni pandemi COVID-19. Oleh karena itu kebutuhan pendanaan sangat penting dalam menanggulangi dampak yang ditimbulkan dari bencana.

Dana Pertahun untuk Bencana

Dari hasil kajian Kemenkeu pada 2020, rata-rata nilai kerusakan langsung yang dialami Indonesia dalam 15 tahun terakhir mencapai sekitar Rp20 triliun pertahun.

Sayangnya, dana cadangan bencana di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendanai tanggap darurat dan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi kepada pemerintah daerah masih berada di bawah nilai kerusakan dan kerugian tersebut, yaitu Rp5-10 triliun pertahun sejak 2004.

Untuk menghadapi situasi tersebut, pemerintah meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB). Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana pada 13 Agustus 2021.

“PFB merupakan upaya Pemerintah dalam mewujudkan komitmen untuk memperkuat ketahanan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana alam dan nonalam,” tegasnya.

PFB Mempercepat Proses Penanganan Bencana

PFB hadir untuk menutup celah pendanaan atau financing gap tersebut dan mempercepat proses penanganan bencana.

“Saat ini, PFB akan memiliki dana kelolaan awal sebesar kurang lebih Rp7,3 triliun,” katanya.

PFB sendiri dikelola secara otonom oleh sebuah Badan Layanan Umum (BLU) di Kemenkeu. Melalui prinsip kerja BLU, PFB tidak hanya memobilisasi dana, tetapi juga melakukan investasi dan akumulasi atas dana yang dihimpun.

Sebagai bagian dari Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana, PFB memungkinkan pemerintah untuk mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD, maupun memindahkan risikonya kepada pihak ketiga melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat.

“Adanya PFB diharapkan dapat mempercepat pemulihan dan melindungi masyarakat yang paling terdampak, yaitu masyarakat miskin dan rentan,” tutup Febrio.