Akademisi Universitas Negeri Surabaya Akui Sulit Deteksi Masyarakat yang Terpapar Paham Radikal
Ilustrasi penolakan paham radikal (Antara/Maulana Surya)

Bagikan:

SURABAYA - Akademisi dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Ahmad Basri mengatakan bahwa tak semua orang yang sudah terpapar paham radikal jadi tertutup pada masyarakat di lingkungannya.

Hal tersebut ia sampaikan saat memberi paparan dalam seminar nasional bertajuk "Pencegahan Radikalisme-Terorisme sekaligus perilisan "Buku Menjerat Terorisme" yang disiarkan di kanal YouTube Pusat Pembinaan Ideologi UNESA, Senin 30 Mei.

"Tidak mudah untuk melakukan deteksi siapa yang sudah terpapar paham radikal karena nyatanya tidak seperti pengetahuan kami. Tidak semua teroris itu tertutup dan tidak mau bersosialisasi," kata Ahmad yang juga anggota tim penyusun "Buku Menjerat Terorisme" disitat dari Antara.

Terpapar Paham Radikal

Dalam penjelasannya, ia mengisahkan bahwa awalnya pihak penyusun buku berasumsi orang yang sudah terpapar radikalisme dan menjadi seorang teroris akan menjadi tertutup dan tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat. "Awalnya itu indikasi bahwa mereka terpapar,” imbuhnya.

Namun setelah dilakukan wawancara, pihaknya justru menemukan fakta bahwa ada pelaku teror yang dikenal ramah. Bahkan ia dikenal kerap berinteraksi dengan masyarakat yang berada di lingkungannya.

Bahkan, kata dia, warga yang sebelumnya berinteraksi dengan seorang pelaku teror berpandangan bahwa sosok tersebut merupakan sosok yang baik sebelum mengetahui keterlibatannya dengan aktivitas teror.

“Mereka menjadi orang yang baik di lingkungan masyarakat. Bahkan terkenal suka memberi jajan, memberi makanan, dan suka sedekah,” ucapnya.

Indikasi Teroris

Oleh karena itu, ujar dia, meskipun di dalam beberapa kasus para pelaku teror atau orang yang sudah terpapar ideologi radikal menjadi tertutup, hal tersebut tidak dapat menjadi satu-satunya indikasi karena sejumlah pelaku teror justru berperilaku baik di lingkungan mereka dan menunjukkan keakraban.

Ia mengungkapkan, tidak semua anggota di dalam satu jaringan teror saling terhubung atau mengetahui satu sama lain. Berdasarkan wawancara yang ia lakukan, bahkan terdapat dua pelaku teror di dalam satu RT yang tidak saling mengenal dan tidak mengetahui satu sama lain.

“Setelah ikut wawancara, ternyata mereka itu tinggal di dalam satu RT tetapi mereka tidak tahu bahwa itu adalah kelompoknya atau jaringannya. Ini berkaitan dengan poin jaringan putus," tandasnya.