Sejarah dan Makna Filosofis Ketupat yang Punya Empat Sisi
Ilustrasi ketupat (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

SURABAYA - Salah satu menu kuliner nusantara yang selalu ada saat Lebaran adalah ketupat. Bisa dibilang ketupat wajib ada di meja makan saat momen tersebut. Di luar hal tersebut, tahukah Anda sejarah dan makna filosofis ketupat?

Sejarah dan Makna Filosofis Ketupat

Ketupat memang syarat akan makna filosofis. Hal tersebut tak lepas dari sejarah yang melingkupi sajian nusantara tersebut.

BACA JUGA:


Patut diketahui bahwa lebaran Ketupat pertama kali dikenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu pembawa ajaran agama Islam di Indonesia. Pembawa ajaran Islam sendiri yang dikenal masyarakat umum ada 9 orang yang ikut menyebarkan agama Islam di Indonesia pada abad ke-15 hingga ke-16.

Mengenalkan Dua Istilah

Dito Alif Pratama, pemerhati sosial keagamaan dalam artikel yang ditayangkan di NU Online menjelaskan bahwa Sunan Kalijaga dahulu mengenalkan dua istilah Bakda kepada masyarakat Jawa. Pertama adalah Bakda Lebaran dan kedua adalah Bakda Kupat.

Bakda Lebaran adalah prosesi pelaksanaan shalat Ied satu Syawal. Di sini, tradisi saling berkunjun dan memaafkan sesama muslim dilakukan.

Sementara itu, Bakda Kupat yang dilaksanakan sepekan setelah Lebaran, masyarakat muslim Jawa membuat ketupat dari beras. Ketupat ini kemudian diantarkan ke kerabat terdekat dan sesepuh sebagai simbol kebersamaan dan lambang kasih sayang.

Pelaksanaan Lebaran Ketupat

Mengenai pelaksanaan Lebaran Ketupat, Dito menerangkan, tradisi Lebaran Ketupat didasarkan pada sunnah Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW menganjurkan umat Islam untuk berpuasa sunnah 6 Hari di bulan Syawal.

Jadi, setelah melaksanakan puasa Syawal selama 6 hari, masyarakat muslim Jawa menyelenggarakan Lebaran Ketupat pada hari ke delapan bulan Syawal yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.

Jadi simbol maaf

Ketupat bukan sekadar makanan di kala Lebaran. Ada filosofinya yang berasal dari istilah Jawa yaitu Ngaku Lepat (mengakui kesalahan) dan laku papat (empat tindakan).

Dito menerangkan, ngaku lepat dipraktikkan bersamaan dengan tradisi sungkeman ketika seorang anak bersimpuh dan memohon maaf di hadapan orangtuanya.

Tidak saja pada orangtua, ngaku lepat juga berlaku untuk memohon maaf kepada tetangga dan kerabat. Ketika seseorang menyantap ketupat yang disajikan kerabatnya, maka artinya pintu maaf telah dibuka dan segala salah dan khilaf antara keduanya terhapus.

Fadly Rahman, sejarawan Universitas Padjadjaran Bandung mengatakan dalam wawancaranya dengan Kompas, menjelaskan, Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai budaya sekaligus filosofi Jawa yang berbaur dengan nilai keislaman. Sementara itu, laku papat dilambangkan oleh empat sisi dari ketupat.

Sejak zaman Kerajaan

Penjabaran lain tentang sejarah Lebaran Ketupat dapat ditemukan dalam artikel yang ditayangkan di laman Historia. Dalam artikel tersebut, dijelaskan bahwa Lebaran Ketupat diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran.

Dewi Sri adalah dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris dan dimuliakan pada masa kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran. Sampai sekarang, masyarakat Jawa, Sunda dan Bali tetap menghormati Dewi Sri.

Kita dapat menemukan tradisi ketupat dilakukan pada masyarakat Hindu dan kepercayaan lokal. Di Desa Kapal, Badung, Bali, masyarakat melakukan perang ketupat untuk memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.

Artikel ini telah tayang dengan judul Empat Sisi Ketupat yang Menyimpan Makna Tersirat.

Selain terkait sejarah dan makna filosofis ketupat, dapatkan informasi dan berita daerah Jawa Timur melalui VOI Jatim.

Terkait