SURABAYA – Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang Kota menyatakan tidak menemukan adanya unsur pidana pada dugaan kasus kelainan fetish mukena Malang, Jawa Timur, dengan terlapor berinisial DA.
Kasat Reskrim Polresta Malang Kota Kompol Tinton Yudha Riambodo mengatakan kesimpulan tersebut diambil setelah mendapatkan keterangan dari Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur serta ahli bahasa.
"Dari hasil koordinasi dengan Diskominfo Jawa Timur, kasus tersebut tidak termasuk dalam UU ITE dan asusila," kata Tinton dikutip Antara, Senin, 20 September.
Sementara itu, hasil koordinasi dengan ahli bahasa, kata Tinton, juga menyatakan komentar yang ada pada dalam postingan di akun Twitter juga belum masuk dalam kategori asusila, pornografi, atau penghinaan.
Penkelasan Ahli Terkait Fetish Mukena di Malang
Berdasarkan penjelasan ahli, lanjut dia, kalimat dalam tulisan tersebut putus atau tidak ada sambungan kata-kata lain. Selain itu, tulisan tersebut bukan merupakan komentar dari pihak terlapor berinisial DA, melainkan dari orang lain.
BACA JUGA:
Terkait dengan kasus tersebut, kata Tinton, ada tiga laporan aduan yang diterima oleh Polresta Malang Kota. Ada tiga orang pelapor, yakni JH, AZK, dan AM, yang merupakan mahasiswa di wilayah Kota Malang dan berprofesi sebagai model.
Terlapor DA meminta para pelapor tersebut untuk mempromosikan mukena yang dijual pada akun onlineshop miliknya. Pelapor sempat melakukan sesi foto untuk produk mukena. Namun, foto-foto tersebut tidak diunggah di akun onlineshop yang dijanjikan.
"Namun, hasil foto tidak dicantumkan pada onlineshop milik teradu, dan dibagikan pada pengikutnya di Twitter," ujarnya.
Pihak kepolisian telah melakukan pendalaman dan memeriksa sejumlah saksi terkait dengan aduan tersebut.
Meskipun hingga saat ini belum ditemukan adanya unsur pidana, pihak kepolisian masih melanjutkan penyelidikan.
Sementara itu, seorang psikolog klinis Sayekti Pribadiningtyas menyatakan telah melakukan pemeriksaan terhadap terlapor DA.
Berdasarkan pemeriksaan tersebut, disimpulkan bahwa DA mengidap gangguan fetisisme mukena.
"Jadi, kategorinya sudah masuk dalam gangguan, fetisisme mukena, yang diidapnya sejak kelas 4 SD. Kategori gangguan itu sekurang-kurangnya dilakukan 6 bulan secara intens terhadap satu objek," kata Sayekti.
Dia menjelaskan DA menggunakan objek mukena dalam fetish-nya. Berdasarkan hasil pemeriksaannya, DA juga tidak tertarik pada bentuk benda lain sehingga melakukan pemenuhan hasrat seksualnya dengan mukena setiap hari.
"DA tidak mampu menahan dan mengendalikan fetisisme mukena tersebut," ujarnya.
Terkait dengan kasus yang saat ini dihadapi DA, Sayekti menjelaskan bahwa ketertarikan terlapor ada pada objek mukena, atau bukan pada model perempuan yang menggunakan mukena tersebut.
Dengan kondisi tersebut, DA perlu menjalani terapi dan intervensi psikologis secara mendalam dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal itu dikarenakan fetisisme tidak mudah dipulihkan dalam waktu yang singkat.
"Secara profesional, saya sebagai psikolog klinis mengatakan bahwa DA memerlukan terapi dan intervensi psikologis secara mendalam dalam jangka waktu yang cukup lama," katanya.
Sementara itu, terlapor DA mengatakan siap bertanggung jawab apabila ada unsur pidana dari perbuatannya tersebut. Dia juga menyatakan akan menjalani perawatan dan penyembuhan didampingi para psikolog.
Artikel ini telah tayang dengan judul Polisi Tidak Temukan Unsur Pidana Kasus Fetish Mukena di Malang.
Selain terkait fetish mukena di Malang, dapatkan informasi dan berita nasional maupun internasional lainnya melalui VOI.